Jangan Jadikan Tanah Papua "Target Eksploitasi" yang Mengenyampingkan HAM


Oleh: Willem Wandik (Anggota DPR-RI Dapil Papua; Wakil Ketua Umum Partai Demokrat; Plt. Ketua Partai Demokrat Provinsi Papua)

"Target ambisius" pemerintah pusat menjadikan daerah seperti Tanah Papua sebagai "target eksploitasi" dengan mengenyampingkan persoalan mendasar "inequality, human rigths violance, dll" (ketidaksetaraan, pelanggaran hak asasi manusia... dll). 

Penyampingan itu menjadi semacam "disaster/bencana" yang dapat dengan mudah diprediksi, disebabkan "rakusnya" Pemerintah Pusat mendorong sektor belanja pemerintah pusat di angka yang melampaui "ambang batas" penerimaan negara yang wajar. 

Bandingkan 3 (tiga) tahun penerimaan negara yang tercatat di Kemenkeu. Diantaranya pada tahun 2020, penerimaan negara hanya Rp1.628 triliun. Di Tahun 2021 penerimaan negara di angka Rp1.733 triliun, dan data di tahun 2022 ini penerimaan negara diperkirakan hanya mencapai Rp1.845 triliun (realisasi per Agustus 2022 mencapai Rp1.764 triliun).

Sedangkan dalam Anggaran Perubahan APBN 2022 yang ditetapkan oleh Pemerintah (merujuk pada Perpres no. 98), justru terjadi kenaikan pagu belanja Pemerintah dari Rp2.786 triliun menjadi Rp3.106 triliun.

Selisih yang sangat besar antara kemampuan realisasi penerimaan negara versus "hasrat" belanja pemerintah pusat yang terbilang "crazy" ini, mendorong agenda "perluasan" ekstraksi resources secara "membabi-buta" di daerah-daerah dengan potensi sumber daya alam yang sangat kaya seperti Tanah Papua, melalui "kewenangan" tender terpusat di Kementerian/Lembaga Jakarta. 

Pemerintah Pusat, di hari ini, memiliki instrumen pengendali "regulasi" yang tidak bisa "diexcept/dilawan" oleh daerah, sekalipun Tanah Papua mendapatkan perlakuan khusus melalui otonomi khusus (Otsus).

Kewenangan tender terpusat kementerian/lembaga inilah, yang menjadikan agenda "tambang-nisasi", "perkebunanisasi", "deforestasi", "perampasan lahan lahan masyarakat adat, di batas Tanah Papua, yang dilindungi dengan "praktek militerisme" akan selalu dibenarkan oleh Pemerintah Pusat. Dalihnya tentu untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Papua 

Namun, di balik narasi semu kesejahteraan rakyat Papua tersebut, terdapat mesin penghisap "capital/uang/darah/air mata" yang dirancang untuk memenuhi plafon kebutuhan anggaran belanja negara, yang terus dipaksakan, sekalipun dengan "membunuh" hak-hak komunal rakyat Papua.

Wa Wa, Matur Nuwun,  Horas, Ya'howu πŸ™πŸΎπŸ™πŸΎ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hasil Quick Count Rakata: Demokrat Raih Dua Kursi DPR-RI di Lampung

Jumat Berkah, DPP Partai Demokrat Berikan Surat Tugas kepada H. Syamsudin Uti sebagai Calon Bupati Indragiri Hilir

Anggota DPR Aceh HT Ibrahim ST MM, Caleg DPR-RI dari Demokrat, Politisi yang Melayani Bukan Dilayani