"Agenda Kriminalisasi" terhadap Lukas Enembe



Oleh: Willem Wandik S. Sos (Anggota DPR-RI Dapil Papua; Wakil Ketua Umum Partai Demokrat; Plt. Ketua Partai Demokrat Provinsi Papua; Ketua Umum DPP GAMKI)

Saya kembali mengingat keadaan genting yang terjadi ketika saya, secara sistematis, berusaha dikerdilkan melalui gugatan di mahkamah partai, dengan rekayasa kasus.

Hal ini kembali terulang di awal tahun 2023, dengan peristiwa "agenda kriminalisasi" terhadap Abang Lukas Enembe, Gubernur Papua dengan kasus "ecek ecek".

Profiling Abang Gubernur, sebagai pemimpin di daerah dengan kekayaan resources terbesar di Republik ini, sangat memalukan jika Abang Gubernur dengan ceroboh menerima gratifikasi sebesar Rp1 miliar (saya garisbawahi: Rp1 miliar), dalam dugaan kasus korupsi yang dituduhkan oleh KPK, yang menjadi dasar penangkapan.

Rp1 miliar ini adalah "trap/jebakan" yang dengan sengaja disiapkan sebagai "plot twist atau pengacau alur cerita yang sebenarnya".

Peristiwa serupa pernah terjadi pada upaya "penyiapan jebakan gratifikasi" yang gagal pada bulan Februari tahun 2019 silam. Dalam sebuah rapat review APBD Papua di Hotel Borobudur Jakarta, yang berhasil di-intercept oleh para pengawal Abang Gubernur, dan berakhir dengan pelaporan oleh pihak KPK yang menuduh telah terjadi pemukulan terhadap penyidik KPK.

Untuk memperkuat "agenda kriminalisasi" terhadap Abang Gubernur, pihak KPK dan media nasional, tidak fokus mendalami dugaan kasus gratifikasi sebesar Rp1 Miliar yang menjadi "alasan hukum" penangkapan dan penetapan sebagai tersangka.

Namun, yang terjadi, justru pihak KPK mendorong "penggiringan opini" dengan banyak memainkan peran drama melalui media.

Pihak KPK yang dibantu oleh pihak inteligen Jakarta, justru mempublikasi dan menyebarluaskan secara official atau "resmi" disertai konferensi pers, yang bahkan ikut diramaikan oleh Kemenkopolhukam, terkait isu-isu "non hukum/non materil penyidikan" seperti menyoal perjalanan Abang Gubernur ke luar negeri.

Dalam penanganan kasus hukum, yang murni adalah menegakkan "supremasi hukum". Penerapan "plot twist" untuk menghakimi seorang tersangka secara publik dengan kejam dan tidak berperasaan, tanpa terlebih dahulu menunggu "kepastian hukum" melalui putusan pengadilan, dengan menerapkan "asas presumption of innocence" (asas praduga tidak bersalah) merupakan cara cara "politik kekuasaan" untuk memberangus tokoh yang dipandang berbahaya bagi kepentingan kelompok yang merasa terancam kepentingannya.

Saya berpandangan, jika Abang Gubernur tidak menolak proposal penerbitan perizinan eks-konsesi lahan PT. Freeport Indonesia--yang dilepaskan pasca Kontrak Karya ke-2 (KK 2) yang mencapai 1,8 juta hektar (salah satunya adalah Blok Wabu, Intan Jaya), dengan potensi tambang emas yang begitu menggiurkan--mungkin, di hari ini, Abang Gubernur bisa pensiun dengan tenang sebagai gubernur yang memimpin Tanah Papua, dan bahkan akan diasuh dengan baik oleh para oligarki kekuasaan di Jakarta. 

Wa Wa, Matur Nuwun, Horas, Ya'ahowu..  πŸ™πŸΎπŸ˜‡πŸ™πŸΎ

Postingan populer dari blog ini

Langkah Gemilang Wakil Ketua DPRK Gayo Lues Fahmi Sahab

Kepala BHPP DPP Partai Demokrat Dr. Muhajir: Kami Wajib Memiliki Loyalitas Tanpa Batas

Dr. H. Nanang Samodra, Anggota DPR-RI 4 Periode yang Tenang dan Penuh Data