Hitung Cepat di Politik


Di tanggal 15 Februari 2017 petang, di halaman Kantor DPP Partai Demokrat, sudah didirikan sebuah panggung.

Saya menjadi satu dari banyak orang yang berada di depan panggung. Orang-orang yang merasakan sakitnya kekalahan.

Tetapi rasa sakit kami tentu tak seberapa dibanding yang dirasakan lelaki berusia 40 tahun tersebut. Lelaki yang berada di atas panggung untuk menyampaikan "ia dan pasangannya, Sylviana Murni, kalah di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Namanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Petang itu, dengan tegar, menahan air mata jatuh, ia menyampaikan pada pendukungnya: mari menerima kekalahan di Pilkada DKI dengan besar hati. 

Meski kekalahan itu baru disampaikan oleh berbagai lembaga survei dalam hitung cepat, ia memilih untuk secara jantan mengakuinya.

Ia kemudian memberikan selamat kepada Anies-Sandiaga & Ahok-Djarot yang maju ke putaran kedua Pilkada DKI Jakarta.

Orang-orang kemudian memuji jiwa satrianya.

Langkahnya pun kemudian diikuti Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Meski dalam poin yang berlawanan: menyampaikan kemenangan mereka, sesaat setelah hitung cepat berbagai lembaga survei mengatakan Anies-Sandi memenangkan Pilkada DKI Jakarta.

AHY tentu pula segera menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan Anies-Sandi.

Para pemilihnya, yang kemudian beralih mendukung Anies-Sandiaga di putaran kedua, apalagi. Mereka bersuka cita. Tak ada rotan, akar pun jadi. AHY tak jadi, kemenangan Anies jadi pengobat hati.

Itu tujuh tahun lalu.

Hari ini, 17 Februari 2024 siang, belum ada juga ucapan selamat dari Anies-Imin; Ganjar-Mahfud atas kemenangan Prabowo-Gibran.

Padahal belasan lembaga survei terpercaya telah menyampaikan kemenangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024, dengan satu putaran. Hanya beberapa jam setelah Pilpres digelar di 14 Februari 2024.

Saya tak paham soal teknik hitung cepat sehingga selisih perbedaan dengan hitungan nyata bisa dibilang tak sampai satu persen.

Hanya saya paham, sejak lama hitung cepat dipergunakan di negeri ini. Dihormati dan diakui sebagai satu metode ilmiah untuk mengetahui hasil perhitungan suara secepatnya.

Saya juga tak pernah percaya, lembaga-lembaga terpercaya berusia belasan tahun hingga lebih setengah abad (layaknya Kompas yang didirikan tahun 1965) mau melacurkan diri hanya untuk Pilpres yang digelar sekali dalam lima tahun.

Saya hanya paham, politik adalah jalan agar bisa berkuasa untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Hanya bagi segelintir politisi, kalimat itu dipenggal menjadi: "Politik adalah jalan agar bisa berkuasa". Titik.

Foto: CNN Indonesia 

(Didik L. Pambudi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hasil Quick Count Rakata: Demokrat Raih Dua Kursi DPR-RI di Lampung

Jumat Berkah, DPP Partai Demokrat Berikan Surat Tugas kepada H. Syamsudin Uti sebagai Calon Bupati Indragiri Hilir

Anggota DPR Aceh HT Ibrahim ST MM, Caleg DPR-RI dari Demokrat, Politisi yang Melayani Bukan Dilayani