Jansen Sitindaon yang Kukenal


Semua bermula tanpa diduga. Diawali postingan video Andi Arief di aplikasi X, yang diberi teks satu kalimat: "Dukungan kami buat @jansen_jsp di Pilkada DKI". Postingan itu meluncur, kemarin, 24 Juni 2024, pukul 13.54 WIB.

Meski diposting di media sosial X, dalam kapasitas pribadi, tentulah nama Andi Arief tak bisa dipisahkan dalam posisinya sebagai Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat. @jansen_jsp yang dimaksud Andi Arief adalah Jansen Sitindaon, Wakil Sekjen Partai Demokrat.

Video itu intinya berbunyi kalangan yang menamakan diri "Jiwa Demokrat" meneguhkan hati mendukung Jansen Sitindaon sebagai Gubernur Jakarta. Pendapat sebuah paguyuban di Partai Demokrat tersebut jadi menarik karena didukung banyak petinggi partai.

Postingan Andi Arief mendapat dukungan tak kurang dari orang nomor satu Demokrat di Jakarta. Ketua Demokrat Jakarta Mujiyono memposting video senada Andi Arief dengan menambahkan kalimat: "Saya jagokan ⁦@jansen_jsp⁩ untuk berlaga di Pilkada Jakarta. Kapasitas dan kapabilitas tidak diragukan lagi. Cocok? Retweet lah ☕️".

Jagat perpolitikan nasional pun langsung bergolak.

Hanya selang beberapa jam kemudian, Deputi Narasi Bakomstra DPP Partai Demokrat Cipta Panca Laksana memposting poster Jansen Sitindaon sebagai Calon Gubernur Jakarta di aplikasi X. "Menyala bosqu 🔥" ujar Panca dalam poster yang diposting pukul 16.40 WIB.

Tentu saja gejolak yang terjadi di dunia maya tersebut segera diketahui Jansen Sitindaon. Ia pun segera menanggapi gejolak politik tersebut dengan penjelasan pendek.

Intinya Jansen mengatakan, fenomena yang ada biarkan mengalir dulu. Meski siap memperjuangkan kemanusiaan dan kebinekaan di negeri ini, Jansen melihat kapasitas terjauhnya hanyalah menjadi wakil gubernur (wagub) bukan gubernur di Jakarta.

Aku cukup mengenal Jansen Sitindaon. Dia satu sahabat terbaikku.

Jansen Sitindaon lahir 5 September 1982. Ia lahir di Desa Silumboyah, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.

Jansen meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Airlangga (Unair). Gelar Magister Hukum, ia dapatkan dari Universitas Indonesia (UI). Saat ini, Jansen adalah kandidat doktor dari Universitas Brawijaya.

Sebagai anak rantau, sejak kuliah di Surabaya, Jansen berkarakter tangguh.

Jansen pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unair. Prestasi yang layak diacungi jempol karena ia terpilih lantaran dukungan para aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Suatu fakta yang menunjukkan bagi Jansen (penganut Kristen yang taat) dan PMII, kepentingan negara lebih utama dibandingkan kepentingan golongan.

Usai menamatkan pendidikan di Unair, Jansen melanjutkan perjuangan menaklukkan kerasnya hidup di Jakarta.

Perihal tekadnya tersebut, Jansen mengatakan padaku, ia meyakini dengan ilmu yang dimilikinya, bisa mengatasi kerasnya ibu kota negara (saat itu). Secara bercanda, ia bilang, kalaupun akhirnya gagal di Jakarta, ia bisa memulai karier di Surabaya, kota tempatnya menimba ilmu hukum. Jikapun gagal, ia bisa ke Medan. Kota terbesar di luar Jawa, sekaligus ibu kota provinsi kelahirannya.

"Paling sial ya pulang ke Sidikalang, Dairi. Rasa-rasanya, aku masih bisa jadi PNS di kota itu," kata Jansen sembari tertawa.

Kalimat itu sejatinya menunjukkan Jansen teramat percaya diri dengan ilmu yang dimilikinya. Ia paham benar lulus dengan predikat cumlaude dari Unair dan kemudian UI adalah jaminan bahwa negara ini membutuhkan kemampuannya.

Bermodal ilmu yang dimilikinya, Jansen pun mulai menjajal kerasnya hutan beton Jakarta dan tinggal di bantaran kali di dekat Salemba Tengah.

Berkat keyakinan dan kerja kerasnya, Jansen akhirnya menaklukkan gemuruh Jakarta.

Jansen yang mengawali karier sebagai pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada akhirnya mampu mendirikan firma hukum Law Firm Jansen Sitindaon & Partners.

Jansen masuk menjadi kader Partai Demokrat sejak 2009. Ia menjadi satu kader yang ikut mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden untuk kedua kalinya.

Ia mengawali karier dari bawah, dengan menjadi anggota sebuah biro di Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat. 

Aku masuk Partai Demokrat pada Agustus 2010. Tapi baru bersahabat karib dengan Jansen di akhir 2016.

Saat itu, Jansen adalah panitia inti di Perayaan Natal Nasional Partai Demokrat. Pikirannya yang cerdas dan karakteristiknya yang blak-blakan, membuatku tertarik mendengar pandangannya.

Secara struktural, Jansen, saat itu, adalah Sekretaris Departemen Urusan DPR-RI di DPP Partai Demokrat. Sebuah jabatan yang tidak menonjol.

Pada akhirnya keakraban membuat aku dan Jansen kerap berdiskusi hingga larut di Taman Politik, Kantor Pusat Partai Demokrat, Jalan Proklamasi 41, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat.

Hingga di satu dini hari, sembari menikmati nasi goreng di seberang kantor Demokrat, kami berdiskusi tentang hal serius.

Jansen merasa sudah tiba waktu baginya menunjukkan kemampuan politik di pentas nasional.

Hanya saja, posisi jabatannya tidak dilirik sama sekali di percaturan politik.

Ia hanya Sekretaris Departemen Urusan DPR-RI di Partai Demokrat. Jabatan tak bergengsi, sehingga sulit baginya mendapat panggung politik.

Menyadari fakta tersebut, Jansen mengatakan ia harus membuat panggung sendiri dengan cara menulis.

Aku adalah redaktur pelaksana di website resmi Demokrat (posisi ini kupegang sejak November 2010 hingga mundur di Desember 2021).
Aku mengatakan pada Jansen akan memuat seluruh tulisannya di website.

Pernyataanku normatif saja karena Ketua Umum Partai Demokrat (saat itu) SBY memang sejak lama meminta para kader untuk mengungkapkan pendapatnya tentang suatu hal dalam tulisan.

Pramoedya Ananta Toer, novelis yang pernah dikandidatkan mendapat Nobel, selalu bilang, yang dikatakan hilang, yang ditulis abadi.

Demikianlah yang terjadi pada Jansen. Tulisan-tulisan Jansen mendapat sambutan publik. Ia kemudian tak hanya rutin menulis di website resmi Demokrat tetapi juga membangun kolomnya di Kompasiana dan berbagai platform media sosial. Ia kerap menulis di akun medsos pribadinya Twitter (kini X), Facebook, Instagram.

Jansen adalah pencerita yang hebat. Ia bisa memadukan gaya penulisan argumentatif, deskriptif, dan naratif dalam tulisannya. Sehingga tulisan Jansen, meski dalam tetap enak dibaca.

Ketajaman pikiran dan tulisan Jansen tentu tak lepas dari pengamatan SBY. Tokoh yang juga suka menulis itu tertarik dengan kemampuan Jansen dan memanggilnya.

Karier politik Jansen pun melesat bagai kilat.

Hanya dalam hitungan bulan, Jansen sudah didaulat sebagai anggota Tim Komunikator Partai Demokrat.

Tim ini langsung mendapat arahan dan berdiskusi rutin nyaris setiap pekan dengan SBY.

Waktu bergulir, suami satu istri dan bapak satu anak tersebut semakin matang.

Dalam tempo singkat, di masa kepemimpinan SBY, Jansen menduduki beberapa jabatan penting. Dimulai dari menjadi Ketua Departemen Urusan DPR-RI, Ketua Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum DPP Partai Demokrat, hingga menjadi Wakil Sekjen Partai Demokrat.

Ketika Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat 2020-2025, Jansen kembali ditunjuk sebagai Wakil Sekjen.

Sejak mendapat kepercayaan SBY sebagai Komunikator Demokrat, Jansen menjadi ujung tombak Demokrat dalam berbagai forum debat dan diskusi.

Di panggung debat atau diskusi, gaya bicara Jansen yang lugas, sarat pengetahuan, dan beraksen kental Dairi, Sumatera Utara segera menarik perhatian publik. Ia juga piawai berargumentasi didukung data dan fakta kuat.

Aku (dan dua kawanku) pernah memenangkan lomba debat peringatan seabad Bung Karno di Medan, 2001. Diselenggarakan PDIP Sumatera Utara. Dari pengalaman itu, aku cukup paham, sebenarnya hal terpenting yang dijaga Jansen dalam setiap perdebatan, ia tidak sedang menaklukkan lawan debatnya tetapi memberi pertunjukan ke penonton. Bagi Jansen, panggung debat adalah panggung pertunjukannya.

Ia pernah bercerita kepadaku, ia memegang benar prinsip yang digariskan SBY: naik panggung tanpa persiapan, harus siap turun panggung dengan memalukan.

Itu sebab Jansen tak pernah naik ke panggung debat tanpa mempelajari permasalahan dengan detail. Tak heran jika Jansen tampil di panggung kerap dengan sebundel data. Ia pun tak hendak memaksa lawan bicara untuk mengiyakan kalimatnya. Sasarannya adalah penonton. Jika penonton debat memahami materi yang ia sampaikan, Jansen sudah cukup puas.

Ada hal unik yang disampaikan Jansen kepadaku ketika ia tampil memukau di panggung "Mata Najwa".

"Apa resepnya, Bang?" Aku bertanya.

"Aku tidak mau melihat matanya Najwa Shihab," katanya.

Bagi Jansen, meski kiatnya terdengar sederhana, ternyata mata Najwa memang selaras dengan judul acaranya "Mata Najwa". Mata itu tajam menyorot. Mampu membuat narasumber merasa tertekan.

"Banyak narasumber mengatakan hal seperti itu," Jansen menjelaskan.

Hal lain yang mengagumkan dari sosok Jansen adalah kesetiaan penuhnya kepada SBY dan AHY.

Terkait hal ini, Jansen pernah mengatakan, ibunya memang berpesan, "Jika kau masih berpolitik, setialah ikut Pak SBY".

Kesetiaan penuh Jansen kepada SBY terlihat jelas ketika kelompok pendukung KLB Partai Demokrat ilegal di Deli Serdang menuding SBY tidak memiliki andil atas berdirinya Partai Demokrat.

Jansen menunjukkan fakta tentang keterlibatan penuh SBY dalam pendirian Partai Demokrat. Lagu "Mars Demokrat" dan lambang plus bendera Demokrat berupa bintang segitiga merah putih adalah karya penuh SBY. Tidak mungkin ada pihak lain yang berani mengklaim sebaliknya.

Jansen dengan lugas juga mengingatkan kepada para kader, tanpa SBY, kader Demokrat bisa jadi bukan siapa-siapa hingga saat ini.

"Saya sering berseloroh, tanpa figur
Pak SBY di dalam Demokrat, jangan-jangan kita semua, sampai sekarang, masih berdesakan di bus kota," Jansen mengambil perumpamaan.

Fakta memang menunjukkan di bawah kepemimpinan SBY, Demokrat pernah menjadi partai terbesar di republik ini.

Ada belasan ribu kader Demokrat yang masih dan pernah duduk di kursi legislatif tingkat pusat, provinsi, kabupaten-kota. Belum yang pernah dan masih berada di berbagai posisi eksekutif daerah atau pusat.

Bagi Jansen, Partai Demokrat hanya ada satu. Partai Demokrat yang legal dan resmi hanya ada satu.

"Partai Demokrat yang sah, yaitu Partai Demokrat yang dipimpin oleh Mas AHY," ujarnya.

Sebuah pernyataan tegas yang akhirnya terbukti ketika Mahkamah Agung menolak kasasi dan peninjauan kembali yang diajukan Moeldoko cs terkait kepemimpinan di Partai Demokrat.

Hingga hari ini, Jansen adalah satu sosok yang masih menuntut agar Moeldoko meminta maaf secara pribadi ke SBY dan AHY atas perbuatan itu.

Nama Jansen, kini, menyeruak kembali di perpolitikan nasional, usai disebut-sebut siap meramaikan kompetisi berebut pemimpin Jakarta di 27 November 2024.

Perebutan kursi gubernur Jakarta memang selalu menarik. Sudah dua gubernur Jakarta yang kemudian maju menjadi calon presiden. Joko Widodo (Jokowi) berhasil. Bahkan dua periode memimpin negara ini. Anies Baswedan gagal. Hanya sepertinya siap kembali memimpin Jakarta, sebuah batu loncatan untuk bertarung lagi Pilpres 2029.

Jansen punya pengalaman matang sebagai Calon Anggota DPR-RI. Ia dua kali bertarung di Pileg (pemilihan langsung legislator) untuk DPR-RI di Dapil Sumut III. Di tahun 2019 dan 2024. Meski belum berhasil duduk di DPR-RI, pengalaman kompetisi nasional tersebut tentu berperan besar andai ia mendapat tiket untuk maju ke Pemilihan Kepala Daerah di Jakarta.

Aku tak lagi berada di struktur pusat Partai Demokrat, sejak mundur di 2021. Tetapi aku tetap menyimak langkah-langkah politik Jansen.

Bagiku, Jansen masih Jansen yang kukenal. Jansen yang sederhana, lugas dan apa adanya.

Jansen yang menjaga kesetiaan pada SBY yang ia panggil "ayahanda".

Jansen Sitindaon yang sangat mencintai tanah kelahirannya; asal-usulnya hingga tak pernah menyingkat marganya.

(Didik L. Pambudi; referensi: Demokrat Newsletter)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hasil Quick Count Rakata: Demokrat Raih Dua Kursi DPR-RI di Lampung

Jumat Berkah, DPP Partai Demokrat Berikan Surat Tugas kepada H. Syamsudin Uti sebagai Calon Bupati Indragiri Hilir

Anggota DPR Aceh HT Ibrahim ST MM, Caleg DPR-RI dari Demokrat, Politisi yang Melayani Bukan Dilayani