Seruan SBY: Perubahan Tatanan Global Demi Masa Depan yang Damai


Oleh: Hendri Teja

(Direktur Eksekutif  Political Design)

Dunia beberapa waktu lalu sempat di ujung tanduk. Israel mengebom Iran tanpa sebab musabab. Iran yang dikira akan berdiam diri, ternyata menyerang balik Israel. Tel Aviv dan banyak kota lain di Israel, luluh lantak. Israel pun meminta bantuan Amerika Serikat. Bom secara terbatas pun dilayangkan Amerika Serikat ke Iran, untuk memaksa Iran stop membela diri.

Sebuah paradoks. Ini adalah bukti terbaru bahwa tatanan global sedang bergeser. Bukan menuju kedamaian, melainkan ke arah ketegangan yang bisa meledak kapan saja. Yang paling mencemaskan, dunia tampak tak berdaya.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, telah memberi peringatan. Tapi kita semua tahu, kekuasaan sejati di PBB tidak ada di tangannya. Guterres hanya sekretaris. Para jenderalnya adalah lima negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB. Mereka adalah Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis dan Tiongkok. 

Ketika salah satu dari mereka melewati batas, PBB tidak bisa menjatuhkan sanksi. Karena mereka akan memveto resolusi PBB yang merugikan mereka. 

Lihat saja Ukraina. Semua upaya penyelesaian bisa mentok karena diveto Rusia. Di Timur Tengah, Israel tak punya hak veto, tapi dekat dengan AS. Setiap resolusi yang merugikan Israel pasti akan diveto oleh Amerika. Begitu juga soal Taiwan. Tiongkok pasti akan memveto langkah apa pun yang mengganggu klaimnya atas wilayah itu.

Situasi menjadi unstoppable. Dunia hanya bisa menunduk. Inilah salah satu penyebab dunia tidak kunjung damai.

Seketika saya teringat pada perbincangan SBY di siniar “Endgame” yang dipandu Gita Wirjawan baru-baru ini. Puluhan tahun lalu, sejak menjabat Presiden ke-6 RI, SBY sudah melancarkan kritik tajam dan berani. SBY menyebut tatanan global saat ini timpang dan tidak adil. Yang kuat kebal hukum, yang lemah tak berdaya. Dunia dikuasai oleh hukum rimba: the might is right.

SBY juga sudah bertegas-tegas. Selama hak veto di PBB masih menjadi tameng, maka tatanan global tak akan pernah berpihak pada keadilan. Yang terjadi bukanlah kolaborasi antarbangsa, melainkan kompetisi kekuasaan yang merugikan umat manusia, yang mengancam perdamaian dunia.

Sudah saatnya kita bertanya. Apakah dunia memang masih ingin bertahan dengan tatanan lama yang timpang ini? Atau justru, seperti yang dikatakan SBY, kita perlu menata ulang dunia dengan cara yang lebih jernih, lebih adil, dan lebih beradab?

Namun, SBY tidak hanya menyuarakan keprihatinan. Sebagai former world leader yang dihormati secara global, SBY juga memberi harapan. SBY yakin bahwa dunia belum sepenuhnya kehilangan akal sehat dan hati nurani. Masih ada ruang untuk perubahan. Masih ada jalan menuju tatanan global yang lebih adil, lebih beradab. Ini bukan sekadar seruan moral, melainkan panggilan untuk bertindak.

Indonesia tidak boleh tinggal diam. Pertama, karena jika dibiarkan, situasi ini pada akhirnya akan merugikan kepentingan nasional kita, baik secara ekonomi, diplomatik, maupun keamanan. Kedua, karena ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia adalah salah satu tujuan negara Indonesia.

Ketiga, karena kita adalah bangsa Pancasila. Kita menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita tidak bisa membiarkan extreme human suffering di negara-negara yang terlibat perang terus berlangsung tanpa upaya apa pun untuk mencegah atau menguranginya. 

SBY sudah memberi teladan. Sekarang, giliran kita untuk menyikapi seruan moral itu.

Hari ini dunia memanggil para pemimpinnya. Dunia sedang berharap. Jadilah negarawan global, bukan hanya penguasa. Dengarkan jeritan umat manusia yang menderita karena konflik dan perang. Gunakan kekuatan bukan untuk mendominasi, tetapi untuk melindungi. Jadilah bagian dari solusi, bukan sumber dari ketakutan dunia.

Sebagaimana yang dikatakan SBY, “Kegigihan mereka untuk merusak harus kita hadapi dengan kegigihan kita untuk mencegah kerusakan dan membangun kembali.”***


Postingan populer dari blog ini

Langkah Gemilang Wakil Ketua DPRK Gayo Lues Fahmi Sahab

Kepala BHPP DPP Partai Demokrat Dr. Muhajir: Kami Wajib Memiliki Loyalitas Tanpa Batas

Dr. H. Nanang Samodra, Anggota DPR-RI 4 Periode yang Tenang dan Penuh Data